(Marginal Utility Dalam Pelayanan)
Oleh
Parel T. J.
Kegiatan refreshing bagi para gembala yang melayani di jemaat kini terlihat sering dilakukan. Waktu khusus yang diberikan bagi sang gembala untuk bersantai sejenak selalu saja terselip dalam jadual pelayanan sepekan. Tentu saja orang mulai menyadari dampak psikologi yang disebabkan oleh kegiatan yang satu ini. Bahkan dari fakta yang terlihat di lapangan, jemaat telah memahami bahwa seorang gembala membutuhkan waktu libur/cuti untuk memikirkan urusan pribadi dan mendesain perencanaan bagi masa depan hidupnya, yang tidak sempat dilakukannya selama jam kerja.
Bayangkan saja, kesibukan sang gembala dalam menangani dan membuat rencana pelayanan, sungguh menguras energi dan kemampuan berpikir yang memungkinkan seorang gembala mengalami stress berat. Walaupun ia bekerja dalam tim, tentu saja seorang memiliki marginal utility dan pasti mengalami kejenuhan. Apalagi bila ia termasuk seorang gembala yang melayani sendiri di sebuah jemaat yang cukup menuntutnya untuk bekerja maksimal guna memberi solusi atas masalah mereka, pasti sangat melelahkan dan mengarahkan dia kepada gejala psikologis dalam posisi yang lebih tinggi. Tentulah keadaan semacam ini mengurangi produktifitasnya.
Hal ini merupakan fakta, dimana seorang gembala dipaksa dalam kapasitas jiwa dan fisik yang sedang mengalami turbulen untuk berbuat maksimal demi pertumbuhan jemaatnya, tanpa memikirkan perkembangan keluarga dan kesehatan dirinya baik secara psikologis ataupun medis. Sehingga tak heran bila fakta mengungkap bahwa kebanyakan gembala dilanda oleh kemiskinan karena kurang memiliki persiapan dalam menghadapi kemelut di hari tua. Sudah pasti ia akan disalahkan dan dianggap tidak pandai dalam mengatur masa depannya. Inikah sebuah penderitaan?
Demi mengantisipasi hal semacam ini, gereja-gereja mulai memikirkan pensiun bagi para gembala. Siapa yang harus bertanggung jawab untuk memikirkan hal ini? Mengapa sang gembala tidak memiliki waktu untuk berpikir demi masa depannya? Selain sibuk karena waktunya dipadati dengan berbagai jadual, banyak juga persepsi yang berdesir di kalangan hamba-hamba Tuhan bahwa Allah yang memanggil kita, pasti Dia juga yang akan bertanggung jawab atas kebutuhan dan masa depan kita. Solusi semacam ini mamang sifatnya sangat teologis, tetapi masih mengalami kelumpuhan dalam praktika dan penerapannya. Allah memang memberkati kita, tetapi bukan hanya dengan mujizat-Nya semata, Ia juga menggunakan kehendak dan usaha kita dalam mencari berkat yang Ia tempatkan di alam semesta ini, seperti kata William Dyrness dalam bukunya, ”Tema-Tema Teologi Dalam Perjanjian Lama”. Namun kapan seorang gembala mendapat kesempatan untuk memikirkan dan berusaha untuk semua itu bila tak ada waktu khusus baginya? Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seorang sahabat penulis, yang juga melayani di salah satu gereja besar di sebuah kota mengungkapkan bahwa para gembala sebaiknya tidak diberi pelayanan pada hari senin karena mereka juga membutuhkan waktu untuk istirahat dan refreshing bersama keluarga. Kesempatan seperti inilah yang memungkinkan gembala untuk memikirkan investasi bagi masa depannya.
Namun pertambahan kuantitas pelayanan yang terus meningkat seiring dengan munculnya masalah yang tidak pernah memberi tahu kapan ia akan menimpa manusia, rupanya memicu sebagaian orang berpikir bahwa pelayanan harus dijalankan tanpa mengenal lelah. Bahkan tak tanggung-tanggung, alasan itu kerap dibungkus dengan berkata bahwa seorang pelayan harus siap sedia memberitakan perkataan kebenaran, baik atau tidak baik waktunya. Entah keluarga sedang dalam kondisi kritis, tak perduli, yang penting pelayanan harus diutamakan. Sesungguhnya ini memberi indikasi dan tafsiran bahwa kebenaran Firman Allah saling bertentangan dengan bagian lainnya, termasuk dengan sistem dan aturan alam semesta. Memang ada orang yang berhasil memberi argumen kristis untuk mempertentangkan semua sistem itu yang akhirnya mengabaikan kebenaran lain yang pernah diungkapkan Allah. Tetapi ada juga hamba Tuhan yang telah mengubah midset-nya dan menganggap keluarga nomor satu dan pelayanan nomor dua. Asumsinya sangat sederhana bahwa pelayanan harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan orang lain seperti analogi yang disampaikan Yesus ketika ia naik ke Surga bahwa pemberitaan Injil harus terjadi dulu di Yerusalem. Bukan hanya itu saja, ada hamba Tuhan yang berkata bahwa menyediakan waktu dan refreshing bersama keluarga merupakan pelayanan seumur hidup yang harus diutamakan.
Memang secara rohani banyak yang berpendapat bahwa kekuatan dan kesegaran jiwa semata-mata berasal dari Tuhan. Tanpa refreshing pun seorang dapat menerima kesegaran jiwa dari Allah. Pendapat semacam ini boleh saja, tetapi ingatlah bahwa paradigma seperti ini membuat kita lupa bahwa manusia adalah ciptaan yang terbatas dan menempatkan manusia dalam posisi yang tidak riil sehingga ini akan mencipta sebuah ideologi atau falsafah yang salah tentang ”harga diri” seperti penegasan beberapa pakar psikologi. Dengan demikian, Tuhan telah menggunakan cara dan metode ilmiah dalam memelihara manusia sebagai usaha untuk menanggulangi keterbatasannya. Tuhan telah memberi pengetahuan khusus bagi manusia melalui pendidikan baik formal maupun informal agar ia bisa mengolah diri sebaik mungkin dan menjadi penolong yang melengkapi sesamanya untuk mencapai maksud Allah. Sehingga secara medis manusia diajar agar berusaha memelihara kesehatan fisiknya melalui istirahat yang cukup, mengkonsumsi makanan bergizi, dan berbagai tindakan medikal lainnya. Sedangkan secara psikologi, manusia yang telah diberi kehendak dan akal, disarankan untuk menolong dirinya guna mewujudkan kesegaran jiwa yang permanen, yang tentunya terjadi atas pertolongan Roh Kudus. Beberapa psikolog maupun dokter sekular pun sering menulis dan memberi terapi kepada setiap orang untuk membangun komunikasi intrapersonal dengan dirinya baik melalui doa, refreshing, istirahat, maupun terapi lainnya untuk mencipta kesegaran jiwa dan menstabilkan gelombang otaknya (sebuah metode untuk menanggulangi stress). Ini bukan sebuah teori The Cult of Self-Worship yang memungkinkan lahirnya manusia super seperti yang dibantah oleh Paul C. Vitz, tetapi ini sebuah proses alami dimana manusia berinteraksi dalam upaya menjaga diri dengan berusaha menggunakan kehendaknya, yang sepenuhnya dibimbing dan ditolong oleh Tuhan untuk memberikan penyegaran jiwa bagi dirinya. Sehingga kondisi jiwa yang sehat akan memberi produktifitas sesuai dengan kompetensi diri yang maksimal. Tetapi bila perasaan dan jiwa mengalami gangguan maka kaulitas seta kekuatan berpikir pun tidak akan maksimal.
Di lapangan pelayanan, banyak hamba-hamba Tuhan mengalami gejala psikologis dalam berbagai level, mulai tingkat stress, frustrasi, defpresi, dan gejala lainnya. Kondisi ini memberi peluang munculnya berbagai masalah baru baik dalam pelayanan maupun dalam diri sang gembala. Belum lagi serangan kuasa gelap yang terjadi setiap saat seperti yang disebutkan dalam Surat I Petrus 5:8. Tetapi terkadang dalam menanggapi gejala-gejala seperti ini, sebagian orang langsung memberi interpretasi yang menyerang dengan prasangka dan menganggap serta menuduh bahwa pemicu utama munculnya gejala psikologi dalam diri seorang gembala adalah karena relasi rohani dengan Tuhan sedang mengalami distorsi yang hebat. Secara empiris, perkataan ini sedikit benar karena pada kenyataannya ada kasus yang demikian. Tetapi biasanya tuduhan semacam ini kurang didasari atas penelitian dan analisa yang akurat terhadap prilaku dan nurani sang gembala. Sebaliknya dirumuskan dengan eksperimen yang terbatas. Akhirnya tuduhan semacam ini membuat kondisi bertambah rumit dan menggiring sang gembala kepada gejala psikologi yang lebih tinggi. Bahkan yang lebih menyedihkan, surat pemutasian atau pemberhentian diterbitkan, tanpa memikirkan nasib dan masa depan sang gembala.
Jadi agar pelayanan tetap berjalan dengan baik, kita perlu memberi kesempatan kepada gembala untuk berlibur atau mengambil waktu refreshing agar ia memiliki kesempatan yang fokus baik bagi dirinya sendiri maupun keluarga. Kesempatan itu merupakan waktu baginya untuk berusaha memikirkan dan mempersiapkan sebuah investasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga dalam hal ini perlu ada tenaga, baik dari badan pengurus jemaat, wakil gembala, atau rekan sekerja lainnya yang telah terlatih dan dilengkapi untuk menangani tugas sang gembala.
Home »
» BOLEHKAH GEMBALA BERLIBUR?