Hanya karena tersinggung mendengar khotbahnya, seorang pengusa Yahudi langsung menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Yohanes. Hamba Tuhan yang juga dikenal sebagai Pembabtis ini, ditangkap saat sedang menjalankan misi penyelamatan kepada bangsa Israel. Semula vonis itu hanya berupa hukuman penjara seumur hidup, namun karena desakan Herodias, isteri sang penguasa itu, akhirnya hukuman kepada Yohanes berujung dengan eksekusi mati dengan cara dipenggal. Ternyata menjadi seorang pemberita Injil, seperti Yohanes Pembabtis, identik dengan membawa diri ke dalam masa tribulasi. Meskipun merasa bahagia dalam menjalankan misi ini karena terbuai dengan panggilan sukacita dari Sang Khalik, ternyata tugas yang satu ini banyak bercerita tentang sejarah yang menyedihkan.
Tragedi ini bermula ketika bangsa Israel mengklaim dirinya sebagai keturunan Abraham dan mengira bahwa mereka tidak mungkin ditimpa oleh murka Allah. Tetapi Yohanes membantah dan menyatakan bahwa kehidupan mereka sedang dirundung oleh krisis rohani yang sangat parah. Menurut pendapat hamba Tuhan ini bahwa semua pemimpin agama beserta jajaran pemerintah tidak lagi menjalankan undang-undang teokrasi yang berlaku bagi setiap umat pilihan Tuhan, sehingga kehidupan moral dan hubungan mereka dengan Tuhan mengalami degradasi yang cukup tajam. Fakta ini membuat Yohanes menenggur mereka dengan keras dan menyatakan bahwa hak istimewa yang didasarkan pada ras keyahudian mereka sama sekali tidak berguna di hadapan Allah. Itulah sebabnya Yohanes datang dengan sebuah perintah Ilahi, “Persiapkanlah jalan untuk Tuhan dan luruskanlah jalan bagi-Nya (Luk 3:4).” Melalui visi ini, Yohanes mengharapkan agar bangsa Israel bertobat dan mempersiapkan hati untuk menyambut kedatangan Mesias sehingga status keyahudian mereka dipandang layak oleh Sang Raja.
Namun menghadapi bangsa yang telah lama hidup dalam tradisi Yahudi dan merasa cukup ahli dalam hukum Taurat ini, jelas menuai banyak konfrontasi ketika Yohanes menyampaikan kebenaran, apalagi dikala ia meminta mereka untuk bertobat dan dibabtis, sungguh merupakan sebuah permintaan yang menurunkan derajat sosial dan harga diri mereka. Buktinya, sang penguasa Yahudi yang bernama Herodes Antipas ini, sempat melakukan somasi terhadap Yohanes Pembabtis karena pengajarannya dianggap sebagai gerakan yang akan memicu terjadinya pembrontakan rakyat kepada para pemimpin Yahudi. Ia takut bila Yohanes mengkudeta dirinya melalui penggalangan massa di tepi sungai Yordan, padahal aksi itu merupakan sebuah kegiatan sakramen babtisan yang biasa dilakukan kepada semua orang yang ingin bertobat.
Rekayasa ini hanya merupakan strategi politik Herodes Antipas untuk menggiring Yohanes Pembabtis ke persidangan. Walaupun motif penangkapan Yohanes Pembabtis dinilai tidak sesuai dengan perundangan yang diatur oleh Allah, namun kemunculan Yohanes Pembabtis dalam komunitas Yahudi rupanya mengusik kekuasaan penguasa Galilea ini karena idealismenya cukup terancam akibat ideologi baru yang bertebaran dalam mindset orang Yahudi.
Akhirnya niat untuk menjebloskan Yohanes Pembabtis ke dalam penjara tercapai juga melalui konspirasi politik dengan para pemimpin Yahudi yang sepakat menyalahkan Yohanes atas perkataannya yang menyebutkan, “Para pemimpin Yahudi adalah keturunan ular beludak.” Merasa tudingan itu menghancurkan wibawanya, Herodes Antipas langsung menggelar sidang dan menetapkan status terdakwa kepada Yohanes Pembabtis atas kasus penghinaan dan pencemaran nama baik. Anak dari pasangan Zakharia dan Elisabeth ini, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun Herodias menilai keputusan itu kurang memuaskan, ia ingin agar Yohanes dihukum mati untuk membalas perbuatan nabi pertama dalam Perjanjian Baru itu karena ia pernah mengutuk pernikahannya dengan Herodes Antipas. Herodias merasa, apa pun yang dilakukan oleh Herodes Antipas, termasuk menikahi dirinya, merupakan hak preogatif seorang raja. Rakyat biasa tidak berhak menyampaikan kritik, apalagi menegur kesalahan para pemimpinnya. Namun hukum Taurat berbicara lain. Menurut keterangan dari Yosephus, seorang sejarawan Yahudi bahwa pernikahan keduanya dinyatakan melanggar peraturan dan undang-undang perkawinan yang ditetapkan dalam kitab undang-undang hukum Taurat yang disahkan Tuhan secara langsung di gunung Sinai. Keduanya melanggar pasal 20, ayat 17, dari Kitab Kejadian tantang perkawinan, yang berbunyi, “Janganlah mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” Yohanes menilai bahwa pernikahan Herodias dan Herodes Antipas termasuk sebuah inses (perkawinan saudara) yang tergolong perbuatan lalim, karena pada kenyataannya Herodias sendiri merupakan saudara tiri sekaligus keponakan Herodes Antipas. Bahkan dalam tradisi Yahudi, perbuatan seperti ini dianggap mencemarkan kekudusan umat Tuhan.
Namun karena Yohanes telah dinyatakan bersalah, Herodias berusaha mempropokasi keadaan tersebut dan memaksa pria yang baru saja menikahinya itu untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yohanes Pembabtis sebagai aksi balas dendam.
Sebagai masyarakat biasa yang hidup dalam sistem pemerintahan monopoli, jelaslah Yohanes tidak memiliki payung hukum untuk melindungi dirinya dari gugatan Herodes Antipas. Ibarat hukum rimba, yang lemah akan menjadi hamba yang kuat, marjinal ini membuat Yohanes tidak bisa berkutik dan membela diri sekalipun ia berada dalam posisi yang benar. Hingga kepalanya dipenggal, tidak ada seorangpun yang datang untuk memberi bantuan hukum kepada Yohanes Pembabtis.
Sesungguhnya kematian martir ini telah menjadi tanda pengorbanan yang mengingatkan kita akan penderitaan dalam memberitakan Injil demi mempersiapkan kedatangan Sang Mesias, Raja semesta alam. Itulah visi yang harus dicapainya, sehingga pada waktu kelahiran Mesias, Sang Juruselamat, semua orang yang telah dipilih menjadi umat Allah didapati berkenan kepada-Nya (Luk 1:17). Ia telah mengakhir pertandingan dengan baik dan kematiannya merupakan awal dari sebuah misi penyelamatan.
Sekarang tugas misioner yang pertama kali dilakoni oleh sang nabi ini, kembali dibebankan kepada kita yang telah diselamatkan Allah untuk mempersiapkan jalan bagi kedatangan Mesias yang kedua kali. Namun ketika kita melihat runtutan kisah yang menyedikan seperti yang dialami oleh Yohanes Pembabtis, tidak sedikit orang merasa kuatir menjalani tugas yang mulia ini. Memang Tuhan Yesus sudah mengingatkan, dunia akan membenci kamu karena nama-Ku, tetapi kepada setiap orang yang mengalami kenyataan seperti itu, kepada mereka, Tuhan Yesus berkata, berbahagialah kamu yang dianiyaya karena kebenaran, karena kamu akan memiliki Kerajaan Sorga (Matius 5:10-11).
Semenjak zaman Yohanes Pembabtis, tidak sedikit tragedi penganiyayan yang menelan korban jiwa akibat Injil Yesus Kristus. Namun herannya, di mana peristiwa semacam itu terjadi, justru di sanalah Injil Yesus Kristus berkembang pesat. Bahkan sejak abad permulaan, ribuan martir dibunuh oleh kaisar-kaisar Romawi. Tetapi tidak satupun penganiyayaan besar itu mampu membendung perkembangan Injil ke berbagai penjuru dunia. Hal inilah yang membuat Kaisar Konstantin melakukan retrospeksi diri sehingga pada abad yang ke-4 ia bertobat dan mempersembahkan kehidupannya kepada Kristus.
Hingga saat ini, sejarah membuktikan juga bahwa tidak sedikit orang yang semula membenci Dia kemudian berbalik menjadi orang yang sangat mencintai Dia. Sebagai bukti, pada tahun 633 M, Afrika Utara, Palestina, dan Asia Kecil (Turki) dikenal sebagai wilayah yang tertutup bagi Injil Yesus Kristus. Banyak rumah ibadah dihancurkan dan jutaan orang dianiyaya. Keadaan ini memaksa gerakan misi gereja pindah ke Eropa Barat. Namun pada abad ke-18 Tuhan menggerakkan Kaum Pietisme untuk mengabarkan Injil, sekaligus menjadi pelopor gerakan moderenisme. Aksi Kaum Pietisme ini terlihat cukup majemuk dan memiliki akses ke berbagai gereja Eropa hingga belahan dunia lainnya. Akhirnya gerakan penyegaran rohani gereja Lutheran yang berfokus kepada pemberitaan Injil ini rupanya membakar semangat William Carey untuk mendirikan Modern Global Mission yang berpusat di Inggris, Eropa Barat, dan Amerika Utara. Melalui badan misi inilah, Injil mulai mengelilingi dunia hingga ke wilayah Afrika dan Asia. Pada masa itu, lawatan Tuhan mulai dinyatakan kepada Asia dan Afrika yang nampak dalam kebangunan rohani di berbagai negara bagian. Sehingga sejak 1970 hingga 1982, Badan Misi Dunia mencatat sekitar 15.249 misionaris yang berasal dari Afrika dan Asia. Perkembangan ini membuktikan bahwa Injil Yesus Kristus memiliki kekuatan besar yang tidak dapat dihentikan oleh apa pun.
Walau dihimpit dengan kesengsaraan dan penyiksaan yang dasyat, banyak orang berani bersaksi tentang Injil Yesus Kristus. Bukan mereka tidak mengerti bahwa mereka sedang diutus ke tengah serigala untuk mencari domba-domba Allah yang hilang karena mencari jalannya sendiri.. Tetapi karena kasih kepada-Nya, banyak orang yang rela mati bagi Dia. Meskipun perjalanan misi mereka diselingi dengan airmata dan kematian, mereka tetap yakin kepada pengharapan yang dikatakan Tuhan Yesus, “…Siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.” (Markus 8:35). Inilah sebuah sukacita yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, dimana pun kita berada jadilah saksi Kristus yang berani memberitakan kebenaran. Semua martir yang menderita, termasuk Yohanes Pembabtis sangat mengerti bahwa mereka akan menghadapi banyak kontroversi dalam pemberitaan Injil. Namun semua penganiyayaan itu tidak membuat mereka gentar, apalagi menyerah. Mengapa? Karena mereka tahu, Inji Yesus Kristus yang dikabarkan kepada dunia merupakan mata air yang terus memancar sampai kepada hidup yang kekal. (Parel)
Home »
» SEORANG HAMBA TUHAN DIVONIS HUKUMAN MATI