Oleh
Parel T. J.
Tergolongnya negara kita sebagai masyarakat agraris karena bergantung pada hasil bumi yang cukup melimpah, sempat membuat Indonesia dikenal sebagai Macan Asia seperti kata Prabowo Subianto. Tetapi dengan menurunnya ekspor karena pengaruh krisis multidimensi telah membuat nama itu tidak terdengar lagi. Bayangkan saja, kegiatan ilegal yang dilakukan terhadap sumber kehidupan bangsa demi kepentingan pribadi masih menjadi ciri dalam pemberitaan di berbagai media massa. Akhirinya kepunahan semakin merajalela dan sumber penghidupan terus dikikis oleh hak dan kepentingan oknum yang cukup lihai dalam bermain petak umpet dengan aparat penegak hukum.
Sudah sejak lama bangsa ini diajar dengan kehidupan moral, etika, bahkan disebut sebagai negara agamawi, tetapi prilaku, nilai, dan budaya yang merongrong kekayaan alam masih tetap terdengar. Dalam majalah KINGDOM edisi ke 5 bulan Mei 2008 disebutkan bahwa Indonesia memiliki terumbu karang terluas di dunia yang mencapai 600.000 km2. Sayangnya, trumbu karang di Indonesia saat ini dalam keadaan kritis. Hampir 18% trumbu karang di daerah Lampung dan Bali terancam punah. Selain itu, penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, sianida, teknik mauro-ami, dan bahan kimia lainnya sangat merusak kelestarian dan kekayaan alam Indonesia. Padahal pemerintah telah mengeluarkan peraturan, antara lain UU RI No. 4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolahan lingkungan hidup, UU RI No. 9 tahun 1985 tentang perikanan, dan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1986 tentang analisis dampak lingkungan. Tetapi aksi pengrusakan terhadap lingkungan alam yang menunjang kelestarian sumber daya alam tampaknya masih berjalan mulus.
Ketika kita melihat luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta km2, pastinya kekeyaan sumber daya laut mempengaruhi perekonomian Indonesia. Jadi pertanyaannya, bisakah kita menciptakan Indonesia baru dengan beberapa kumunitas yang masih bertingkah apatis terhadap kesusahan bangsa ini?
Dalam beberapa dekade kepemimpinan selama lima tahun terdengar tawaran-tawaran yang berusahkan membawa Bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan semacam ini. Bahkan pemilihan kepala daerah yang kerap digelar sepanjang dua tahun terakhir ini, tawaran itu selalu nyaring berkicau di mana-mana. Falsafah otonomi daerah terus dikumandangkan hingga membelah langit, janji pemulihan dan berbagai mimpi pun diungkap bagai membuai sang buah hati dalam ayunan. Tetapi mengapa nilai dan perspektif yang bertindak secara egois dan sikap kurang peduli terhadap sesama tak kunjung berhenti menulis kisahnya dalam lembaran sejarah bangsa? Bahkan beberapa buronan yang terkait dengan kasus semacam ini masih senang menginap di balik jeruji besi. Belum lagi masalah ini berakhir, amukkan bencana alam serta ancaman pemanasan global semakin menjadi-jadi dan harga bahan pokok semakin meningkat. Kondisi ini membuat masyarakat selalu haus akan tokoh pemimpin yang bisa membela dan mencari solusi terhadap krisis multidimensi semacam itu. Sementara tak sedikit pemimpin bangsa yang tampil selama 63 tahun kemerdekaan RI untuk membuktikan janji-janjinya, tak sedikit pula kecaman dan aksi kekerasan yang mengguyur kepemimpinan mereka.
Kejadian ini sungguh mengundang kepedulian sejumlah penduduk dunia untuk angkat bicara sebagai bentuk keprihatinan global khususnya terhadap kekayaan dan sumber penghidupan bangsa yang semakin punah. Hal ini dipandang sebagai sebuah harta besar yang memberi sumbangsih maksimal bagi kemakmuran masyarakat agraris seperti Indonesia. Tetapi dengan terjadinya krisis multidimensi yang mensinyalir timbulnya kompleksitas dalam membudidayakan kekayaan alam Indonesia dapatkan bangsa ini melepaskan diri dari penjara kemiskinan yang melanda masyarakat Indonesia bertahun-tahun. Siapakah yang harus menunjukkan kepedulian dan rasa tanggung jawab terhadap kelestarian berbagai sumber penghidupan dalam negara ini? Inilah ungkapan fakta yang membuat kita tak pernah berhenti belajar dan mengembangkan kecakapan moral dalam negara yang banyak mengandung manusia hebat, jebolan dari berbagai universitas terkenal.
Membangun kecakapan moral untuk meningkatkan kepedulian terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain seharusnya menjadi budaya suatu bangsa yang hidup dalam naungan Pancasila. Untuk itu, kesadaran dalam melihat kondisi bangsa yang semakin dibelit oleh sikap apatis harus mendorong kita membentuk generasi baru dalam wadah keluarga yang sadar akan kondisi bangsa kita. Suatu negara akan baik bila terdiri dari keluarga yang baik.
Home »
» SIAPA YANG HARUS PEDULI?