Oleh
Parel T. J.
"Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata: “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan.”
(Matius 15:32)
Dalam kuantitas pelayanan gereja, dimensi sosial yang sering disebut sebagai pelayanan holistik cendrung dikurangi oleh kebanyakan gereja yang tergabung dalam berbagai denominasi. Sedangkan orientasi pada pelayanan pertumbuhan iman lebih ditonjolkan karena alasan konteks. Syukurlah dalam sejarah penyebaran injil sejak berdirinya jemaat mula-mula, semangat pelayanaan sosial masih tetap berkobar dalam cara hidup mereka sebagaimana yang dikisahkan oleh dokter Lukas dalam runtutan sejarah kekristenan (Kisah 2:41-47). Namun dalam perkembangan selanjutnya, kisah ini enggan berdengung dan jarang menyatakan diri sebagai urutan nomor satu yang dicintai gereja dalam sejarah pemberitaan Injil. Secara alkitabiah, pelayanan yang terfokus kepada pertumbuhan rohani memang menjadi tugas utama, tetapi tugas ini tidak hanya dijalankan tanpa dukungan pelayanan yang menyentuh sisi lain dalam kehidupan manusia. Itulah sebabnya kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat sering diurungkan dan jarang menjadi program rutinitas gereja. Walaupun dalam sesekali dilakukan saat melapetaka dan bencana alam menimpa, tetapi program ini masih terhitung kecil dalam skala kuantitas denominasi gereja. Hal ini mensinyalir timbulnya kepincangan sosial dalam gereja yang kerap memperkenalkan diri sebagai lembaga oikumene. Akhirnya gereja hanya dirasa sebagai tempat untuk menempa kehidupan rohani yang tidak berhubungan dengan perkara jasmani karena dibungkus dengan alasan klasik. Sehingga kesadaran memberi dan peduli terhadap sesama dalam konteks pelayanan gereja selalu terabaikan sementara gereja merupakan wadah utama yang menjalankan fungsi sosial dan pelayanan holistik seperti yang dicontohkan oleh Yesus.
Kelalaian memperhatikan faktor ini kadang mengusik rasa kedegilan masyarakat terhadap kehadiran gereja dalam lingkungan mereka. Bahkan aksi penutupan gereja yang dianggap sebagai tindakan kriminal oleh sebagian pihak tetap saja tersiar sebagaimana yang dilaporkan dalam Tabloid Via Median edisi Juli 2008. Pihak ini menuntut Pemerintah untuk memberlakukan peraturan beragama 2 Menteri secara adil bagi semua umat beragama. Tetapi guyuran berbagai alasan yang dibalut dengan ketentuan hukum terus menojokkan pihak gereja dan melarang segala bentuk kegiatan operasionalnya.
Memang kita akan berkata bahwa tantangan selalu ada. Tetapi tak sedikit juga hamba Tuhan yang merasa bahwa kasus penutupan dan penghancuran gereja merupakan peringatan Tuhan terhadap gereja yang hanya memperhatikan pengembangan dirinya sendiri dan tidak memberi perlindungan serta rasa aman kepada masyarakat. Padahal kehadiran gereja di negara kita telah diakui oleh pemerintah. Namun mengapa kepentingan rohani yang satu ini kerap dipersulit dalam semua misinya. Bahkan surat larangan beribadah yang dilayangkan kepada pihak gereja kini tak terhitung lagi jumlahnya. Semua kegiatan misi gereja berusaha dihambat agar jangan terkuak ke luar, sementara misi agama lain selalu bebas menjelajah di negara yang sifatnya majemuk ini. Tentu perlakukan seperti ini memberi kesan bahwa gereja diperlakukan dengan cara yang tidak adil dan ketentuan hukum yang dibuat hanya untuk kepentingan pribadi. Kejadian ini mendorong gereja untuk angkat suara karena dirinya merasa dicengkram oleh aturan hukum yang kurang memihak. Sehingga keinginan yang ingin mencipta ketetapan mayoritas di dalam kehidupan masyarakat plural terus berteriak; segala sesuatu ingin diatur menurut kehendak dan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kedudukan minoritas yang juga memberi andil besar dalam memelihara kelestarian dan kesatuan negara.
Sesungguhnya konflik semacam ini muncul dari hati yang merasa jalan hidupnya telah benar namun tidak peduli dengan kepentingan yang lain. Seharusnya kita selalu menjaga hati supaya ia tetap menjadi pusat yang memancarkan kehidupan dan selalu membuka mata terhadap jeritan orang lain. Bukankah Yesus telah menyatakan kepeduliaan-Nya dan memberi gelitikan terhadap gereja untuk memperhatikan hal ini (Matius 15:32). Ingatlah bahwa sentuhan hati yang didasarkan pada belas kasihan memberi pemulihan bagi manusia secara ilmu psikologi. Itulah sebabnya disiplin ilmu yang memperlajari struktur jiwa manusia ini sekarang tak hanya dikonsumsi dalam dunia pendidikan dan urusan medis saja. Ia telah diminati oleh berbagai bidang dalam dunia kerja karena memberi dampak yang sangat besar bagi pengembangan sumber daya manusia. Penjelmaannya dalam slogan dan kata-kata positif selalu membangun perasaan dan memberi motivasi bagi jiwa ini. Bahkan ilmu ini selalu ikut terkemas dalam berbagai pelatihan yang bersifat membangun dan memberi nilai baru bagi konsep tentang diri seseorang. Melalui ilmu ini pula orang akan mengerti kepribadian suatu masyarakat dan tata cara memperlakukan orang lain secara manusiawi. Dengan dasar ini, muncul berbagai aksi kepedulian sosial sebagai wadah psikologi untuk menyentuh hati dan mengusahakan pemulihan hidup manusia demi terwujudnya kesejahtraan yang menjadi visi kita bersama.
Hati yang disentuh dengan rasa kepedulian sosial yang tinggi selalu menghasilkan kesatuan dan kekeluargaan yang kuat. Bila hubungan dibangun dalam kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap sesama, niscaya akan mencipta rasa kasih sayang dan menghancurkan permusuhan yang selama ini mencoreng identitas kita sebagai negara yang beragama.
Home »
» MENYENTUH HATI DENGAN KEPEDULIAN SOSIAL