Latest Post
22:24
Mengungkap Sisi Komersil Dalam Pelayanan Paulus
Written By Parel T. J. on 02 July 2009 | 22:24
Keseimbangan Antara Bisnis dan Pelayanan
Awalnya Paulus merupakan sosok yang sangat ditakuti oleh orang Kristen di abad permulaan. Pembunuh berdarah dingin ini tak segan-segan membantai korbannya bila ia mengetahui mereka adalah pengikut ajaran Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi agama Yahudi di masa itu. Tetapi dalam perjalanan agresi yang dilakukannya untuk menyisir seluruh daerah Damsyik, Paulus malah tak berdaya ketika dihantam oleh segumpal cahaya yang menyorotinya dan dibarengi dengan gemuruh suara yang bertanya, mengapa ia melakukan tindakan kriminal yang sesadis itu hanya untuk melindungi agama Yudaisme dari berbagai doktrin yang dianggapnya sesat. Saat itu juga ia bagai terkena sengatan listrik, dalam hitungan detik selaput matanya langsung tertutup dan ia buta seketika.
Lewat kejadian mistis itu, Paulus tak lagi memiliki nyali untuk melangsungkan aksi pembunuhan masal yang direncanakannya atas persetujuan imam besar di Yerusalem. Tetapi sebaliknya ia malah menyerahkan diri menjadi hamba Kristus dan berjuangan mati-matian demi amanah pemberitaan Injil. Bahkan untuk tugas yang sempat membuatnya tinggal di balik jeruji besi ini, ia rela berkerja sebagai juragan kemah untuk menambah penghasilan demi mendukung ekonomi pelayanannya.
Penuturan mengenai bisnisman asal Tarsus ini diungkap secara lugas oleh dr. Lukas dalam Kisah Para Rasul 18:3. Lukas menyebutkan bahwa dalam menggeluti tugas panggilannya sebagai pemberita Injil, rupanya Paulus juga berkerja sebagai pembuat kemah untuk mendapatkan penghasilan. Melalui mata pencarian ini Paulus menunjang pelayanannya dengan faktor bisnis. Pembuktian terhadap fakta ini dijelaskan juga dalam I Tesalonika 2:9 dan II Tesalonika 3:8. Dalam kedua literatur ini tersirat bahwa Paulus dan beberapa rekannya berkerja siang dan malam demi mencukupi kebutuhan hidup sehingga biaya hidup mereka tidak menjadi beban bagi siapapun selama mereka memberitakan Kabar Kesukaan dari Allah. Walaupun ia sering mendapat bantuan dari jemaat yang pernah dilayaninya (Fil 4:14-16; II Kor 11:9), ia tetap berprinsif bahwa beban ekonomi dan kebutuhan lainnya tidak boleh menjadi beban bagi siapapun. Itulah sebabnya ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dengan berdagang kemah. Sesungguhnya Paulus menyadari bahwa ia adalah manusia biasa yang memerlukan makanan dan kebutuhan primer lainnya. Walaupun ia melakukan pelayanan yang menyenangkan hati Tuhan, ia tetap saja memerlukan makanan pokok dan cara pemenuhannya jarang terjadi secara ajaib, artinya semua itu perlu dibeli dengan uang yang harus dicari.
Profesi Paulus sebagai pegadang kemah memberikan penuturan secara logika bahwa seharusnya ia mengetahui ilmu dagang dan kompetensi dalam menganalisis biaya produksi, biaya bahan baku (kulit domba) yang digunakan untuk membuat kemah, dan perkiraan biaya lainnya sehingga target dan perhitungan laba diperoleh lebih banyak, sebagaimana yang dimaksudkan dalam hukum ekonomi yang pernah dicetuskan oleh John Adam Smith pada abat ke-18 bahwa pengeluaran sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Hampir tidak ada pakar ekonomi yang kontradiksi dengan filosofi bisnis yang diungkapkan oleh Adam Smith. Mengapa? Karena tujuan bisnis pasti berorientasi pada keuntungan. Sehingga sebagai seorang pengusaha kemah, Paulus harus mengetahui tingkat permintaan produk dan selera konsumennya agar ia dapat memberikan produk dan service yang berkualitas mengingat di zamannya ada banyak pengusaha yang menjual kemah dan pastinya bersaing dalam menawarkan produk yang sama.
Ini berarti bahwa Paulus harus berjuang agar perusahaannya tetap eksis dan pelayanan pekabaran Injil tetap terfokus sesuai dengan tekad yang diucapkannya bahwa hidupku bukan aku lagi melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Galatia 2:20).
Upaya kerja kerasnya sungguh terindikasi dalam tulisan yang ia sampaikan kepada Jemaat Korintus (II Korintus 11:9). Penyaluran bantuan jemaat yang tidak terlalu lancar pada waktu itu, justru membuat Paulus berpikir untuk mencari penghasilan tambahan. Ia menutupi seluruh keperluannya dari hasil penjualan kemah agar pemberitaan Injil jangan terhambat gara-gara kebutuhan hidup sehari-hari. Keseriusannya dalam memberitakan Injil sangat nampak dari buah pelayanannya. Tak satu pun dari usaha bisnis yang digelutinya itu mampu menggantikan pelayanan dan sukacita yang ia rasakan dalam pemberitaan Injil. Bahkan saat di penjara pun ia tetap memberitakan Firman Tuhan dan setia menguatkan jemaat melalui surat yang ia tulis.
Memang kesetiaan Paulus kepada Injil sangat kokoh. Sekalipun ia harus menjadi juragan kemah, tugas pemberitaan Injil tetap dilaksanakannya. Inilah yang penting diteladani bahwa seorang pekerja yang melayani pekerjaan Tuhan harus senantiasa terfokus kepada tugas utamanya sekalipun karena keadaan ia harus melakukan berbagai tugas lainnya agar kebutuhan ekonomi tidak terlantar. Fakta membuktikan bahwa kesulitan ekonomi dalam pelayanan tak jarang dihadapi oleh beberapa pelayan Tuhan. Karena masalah itu, timbullah bermacam solusi untuk mengatasinya. Ada yang mulai mencari usaha sampingan agar kebutuhan hidup tetap terpenuhi. Tetapi ada juga yang berkata pendeta tidak boleh berbisnis, apalagi menjadi juragan kemah seperti Paulus. Namun idealisme yang seperti ini justru membawa kesulitan tersendiri. Akhirnya karena bosan dengan keadaan itu, banyak pendeta yang merekam khotbahnya, lalu hasil rekaman itu ditulis dalam bentuk buku atau dibuat dengan hasil audio-visul dan dijual dengan harga yang sangat bersaing. Bukankah ini sebuah kegiatan komersil yang bisa diberi istilah juragan buku atau istilah bisnis lainnya. Tak hanya itu saja, ketika kita melihat dunia literatur, telah ribuan buku yang ditulis oleh para pendeta dan dikomersilkan kepada masyarakat dengan tujuan pelayanan. Tidak hanya itu saja, kaset dan vcd yang memuat konser lagu rohani pun telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk melayani dan pendistribusiannya dihitung dengan sistem komersil.
Namun dalam kenyataanya tak semua orang bisa menerima atau melihat bisnis dan pelayanan sebagai suatu kesatuan yang saling menunjang dalam mencipta kekuatan untuk merealisasi tugas pemberitaan Injil. Bahkan karena mengabaikan aspek ini, tak jarang dampak yang sifatnya multi dimensi ramai bermunculan. Apalagi melayani pada masa resesi ekonomi tahun 2008 hingga 2009 lalu. Mulai dari biaya pendidikan, keperluan sehari-hari, dan kebutuhan lainnya turut bermasalah. Mengapa? Karena kebutuhan manusia hampir seluruhnya dimasukkan dalam dunia bisnis dan tingkat rata-rata pemenuhannya diukur dengan nilai uang. Sementara fanatisme yang memisahkan dunia bisnis dan pelayanan masih melekat kuat dalam beberapa aliran teologi. Buktinya dalam beberapa kasus tertentu, ada yang berprinsip bahwa seorang hamba dan keluarganya harus hidup dari persembahan yang dibawa oleh jemaat (Maleakhi 3:10). Jadi bisnis hanya dipandang sebagai suatu faktor yang mengganggu konsentrasi pelayanan. Memang hal ini merupakan kenyataan yang menyulitkan dunia pelayanan akibat adanya ketidakseimbangan antara bisnis dan pelayanan. Untuk mengantisipasi hal itu, mari kita melihat teladan Paulus, Si Juragan Kemah yang melakukan kegiatan bisnis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, Yesus sebagai seorang anak tukang kayu, pernah makan dari usaha ayahnya, Yusuf. Apakah mereka berpaling dari tugas pemberitaan Injil? Tak pernah ada sumber yang mengungkap sisi ini. Tetapi malahan bisnis digunakan sebagai sarana untuk menunjang pelayanan (II Korintus 11:9). Bila bisnis dianggap sebagai faktor yang mengganggu konsentrasi pelayanan, sesungguhnya motif semacam itu bergantung pada subjektifitas dan hati nurani seorang pelayan.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa dunia pelayanan memiliki bermacam-macam konteks, mulai dari zona yang tingkat ekonominya kuat hingga tingkat ekonomi yang perlu dibantu. Keadaan semacam ini pasti menetaskan berbagai situasi yang mempengaruhi kondisi ekonomi para pelayan. Contohnya, kondisi ekonomi jemaat yang sedang dilayani oleh Paulus, pada kenyataannya tidak terlalu banyak membantu keperluan hidupnya. Apalagi penyaluran bantuan dana dari beberapa jemaat Kristen tidak terlalu lancar sehingga mempengaruhi Paulus untuk menggunakan keahliannya sebagai pengerajin kemah agar ia mendapat penghasilan tambahan. Bukankah ini merupakan suatu hikmat yang diberikan Tuhan sehingga menunjang jalannya tugas pemberitaan Injil. Paulus tidak pernah melarang dan memisahkan bisnis dari dunia pelayanan.
Jadi pada prinsifnya bisnis harus dipandang sebagai faktor penunjang yang menolong pelayanan dari segi ekonomi tetapi sangat terlarang bila bisnis menyebabkan fokus pelayanan menjadi kabur. (Parel)
Awalnya Paulus merupakan sosok yang sangat ditakuti oleh orang Kristen di abad permulaan. Pembunuh berdarah dingin ini tak segan-segan membantai korbannya bila ia mengetahui mereka adalah pengikut ajaran Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi agama Yahudi di masa itu. Tetapi dalam perjalanan agresi yang dilakukannya untuk menyisir seluruh daerah Damsyik, Paulus malah tak berdaya ketika dihantam oleh segumpal cahaya yang menyorotinya dan dibarengi dengan gemuruh suara yang bertanya, mengapa ia melakukan tindakan kriminal yang sesadis itu hanya untuk melindungi agama Yudaisme dari berbagai doktrin yang dianggapnya sesat. Saat itu juga ia bagai terkena sengatan listrik, dalam hitungan detik selaput matanya langsung tertutup dan ia buta seketika.
Lewat kejadian mistis itu, Paulus tak lagi memiliki nyali untuk melangsungkan aksi pembunuhan masal yang direncanakannya atas persetujuan imam besar di Yerusalem. Tetapi sebaliknya ia malah menyerahkan diri menjadi hamba Kristus dan berjuangan mati-matian demi amanah pemberitaan Injil. Bahkan untuk tugas yang sempat membuatnya tinggal di balik jeruji besi ini, ia rela berkerja sebagai juragan kemah untuk menambah penghasilan demi mendukung ekonomi pelayanannya.
Penuturan mengenai bisnisman asal Tarsus ini diungkap secara lugas oleh dr. Lukas dalam Kisah Para Rasul 18:3. Lukas menyebutkan bahwa dalam menggeluti tugas panggilannya sebagai pemberita Injil, rupanya Paulus juga berkerja sebagai pembuat kemah untuk mendapatkan penghasilan. Melalui mata pencarian ini Paulus menunjang pelayanannya dengan faktor bisnis. Pembuktian terhadap fakta ini dijelaskan juga dalam I Tesalonika 2:9 dan II Tesalonika 3:8. Dalam kedua literatur ini tersirat bahwa Paulus dan beberapa rekannya berkerja siang dan malam demi mencukupi kebutuhan hidup sehingga biaya hidup mereka tidak menjadi beban bagi siapapun selama mereka memberitakan Kabar Kesukaan dari Allah. Walaupun ia sering mendapat bantuan dari jemaat yang pernah dilayaninya (Fil 4:14-16; II Kor 11:9), ia tetap berprinsif bahwa beban ekonomi dan kebutuhan lainnya tidak boleh menjadi beban bagi siapapun. Itulah sebabnya ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya dengan berdagang kemah. Sesungguhnya Paulus menyadari bahwa ia adalah manusia biasa yang memerlukan makanan dan kebutuhan primer lainnya. Walaupun ia melakukan pelayanan yang menyenangkan hati Tuhan, ia tetap saja memerlukan makanan pokok dan cara pemenuhannya jarang terjadi secara ajaib, artinya semua itu perlu dibeli dengan uang yang harus dicari.
Profesi Paulus sebagai pegadang kemah memberikan penuturan secara logika bahwa seharusnya ia mengetahui ilmu dagang dan kompetensi dalam menganalisis biaya produksi, biaya bahan baku (kulit domba) yang digunakan untuk membuat kemah, dan perkiraan biaya lainnya sehingga target dan perhitungan laba diperoleh lebih banyak, sebagaimana yang dimaksudkan dalam hukum ekonomi yang pernah dicetuskan oleh John Adam Smith pada abat ke-18 bahwa pengeluaran sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Hampir tidak ada pakar ekonomi yang kontradiksi dengan filosofi bisnis yang diungkapkan oleh Adam Smith. Mengapa? Karena tujuan bisnis pasti berorientasi pada keuntungan. Sehingga sebagai seorang pengusaha kemah, Paulus harus mengetahui tingkat permintaan produk dan selera konsumennya agar ia dapat memberikan produk dan service yang berkualitas mengingat di zamannya ada banyak pengusaha yang menjual kemah dan pastinya bersaing dalam menawarkan produk yang sama.
Ini berarti bahwa Paulus harus berjuang agar perusahaannya tetap eksis dan pelayanan pekabaran Injil tetap terfokus sesuai dengan tekad yang diucapkannya bahwa hidupku bukan aku lagi melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Galatia 2:20).
Upaya kerja kerasnya sungguh terindikasi dalam tulisan yang ia sampaikan kepada Jemaat Korintus (II Korintus 11:9). Penyaluran bantuan jemaat yang tidak terlalu lancar pada waktu itu, justru membuat Paulus berpikir untuk mencari penghasilan tambahan. Ia menutupi seluruh keperluannya dari hasil penjualan kemah agar pemberitaan Injil jangan terhambat gara-gara kebutuhan hidup sehari-hari. Keseriusannya dalam memberitakan Injil sangat nampak dari buah pelayanannya. Tak satu pun dari usaha bisnis yang digelutinya itu mampu menggantikan pelayanan dan sukacita yang ia rasakan dalam pemberitaan Injil. Bahkan saat di penjara pun ia tetap memberitakan Firman Tuhan dan setia menguatkan jemaat melalui surat yang ia tulis.
Memang kesetiaan Paulus kepada Injil sangat kokoh. Sekalipun ia harus menjadi juragan kemah, tugas pemberitaan Injil tetap dilaksanakannya. Inilah yang penting diteladani bahwa seorang pekerja yang melayani pekerjaan Tuhan harus senantiasa terfokus kepada tugas utamanya sekalipun karena keadaan ia harus melakukan berbagai tugas lainnya agar kebutuhan ekonomi tidak terlantar. Fakta membuktikan bahwa kesulitan ekonomi dalam pelayanan tak jarang dihadapi oleh beberapa pelayan Tuhan. Karena masalah itu, timbullah bermacam solusi untuk mengatasinya. Ada yang mulai mencari usaha sampingan agar kebutuhan hidup tetap terpenuhi. Tetapi ada juga yang berkata pendeta tidak boleh berbisnis, apalagi menjadi juragan kemah seperti Paulus. Namun idealisme yang seperti ini justru membawa kesulitan tersendiri. Akhirnya karena bosan dengan keadaan itu, banyak pendeta yang merekam khotbahnya, lalu hasil rekaman itu ditulis dalam bentuk buku atau dibuat dengan hasil audio-visul dan dijual dengan harga yang sangat bersaing. Bukankah ini sebuah kegiatan komersil yang bisa diberi istilah juragan buku atau istilah bisnis lainnya. Tak hanya itu saja, ketika kita melihat dunia literatur, telah ribuan buku yang ditulis oleh para pendeta dan dikomersilkan kepada masyarakat dengan tujuan pelayanan. Tidak hanya itu saja, kaset dan vcd yang memuat konser lagu rohani pun telah dimanfaatkan sebagai sarana untuk melayani dan pendistribusiannya dihitung dengan sistem komersil.
Namun dalam kenyataanya tak semua orang bisa menerima atau melihat bisnis dan pelayanan sebagai suatu kesatuan yang saling menunjang dalam mencipta kekuatan untuk merealisasi tugas pemberitaan Injil. Bahkan karena mengabaikan aspek ini, tak jarang dampak yang sifatnya multi dimensi ramai bermunculan. Apalagi melayani pada masa resesi ekonomi tahun 2008 hingga 2009 lalu. Mulai dari biaya pendidikan, keperluan sehari-hari, dan kebutuhan lainnya turut bermasalah. Mengapa? Karena kebutuhan manusia hampir seluruhnya dimasukkan dalam dunia bisnis dan tingkat rata-rata pemenuhannya diukur dengan nilai uang. Sementara fanatisme yang memisahkan dunia bisnis dan pelayanan masih melekat kuat dalam beberapa aliran teologi. Buktinya dalam beberapa kasus tertentu, ada yang berprinsip bahwa seorang hamba dan keluarganya harus hidup dari persembahan yang dibawa oleh jemaat (Maleakhi 3:10). Jadi bisnis hanya dipandang sebagai suatu faktor yang mengganggu konsentrasi pelayanan. Memang hal ini merupakan kenyataan yang menyulitkan dunia pelayanan akibat adanya ketidakseimbangan antara bisnis dan pelayanan. Untuk mengantisipasi hal itu, mari kita melihat teladan Paulus, Si Juragan Kemah yang melakukan kegiatan bisnis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, Yesus sebagai seorang anak tukang kayu, pernah makan dari usaha ayahnya, Yusuf. Apakah mereka berpaling dari tugas pemberitaan Injil? Tak pernah ada sumber yang mengungkap sisi ini. Tetapi malahan bisnis digunakan sebagai sarana untuk menunjang pelayanan (II Korintus 11:9). Bila bisnis dianggap sebagai faktor yang mengganggu konsentrasi pelayanan, sesungguhnya motif semacam itu bergantung pada subjektifitas dan hati nurani seorang pelayan.
Oleh karena itu, perlu disadari bahwa dunia pelayanan memiliki bermacam-macam konteks, mulai dari zona yang tingkat ekonominya kuat hingga tingkat ekonomi yang perlu dibantu. Keadaan semacam ini pasti menetaskan berbagai situasi yang mempengaruhi kondisi ekonomi para pelayan. Contohnya, kondisi ekonomi jemaat yang sedang dilayani oleh Paulus, pada kenyataannya tidak terlalu banyak membantu keperluan hidupnya. Apalagi penyaluran bantuan dana dari beberapa jemaat Kristen tidak terlalu lancar sehingga mempengaruhi Paulus untuk menggunakan keahliannya sebagai pengerajin kemah agar ia mendapat penghasilan tambahan. Bukankah ini merupakan suatu hikmat yang diberikan Tuhan sehingga menunjang jalannya tugas pemberitaan Injil. Paulus tidak pernah melarang dan memisahkan bisnis dari dunia pelayanan.
Jadi pada prinsifnya bisnis harus dipandang sebagai faktor penunjang yang menolong pelayanan dari segi ekonomi tetapi sangat terlarang bila bisnis menyebabkan fokus pelayanan menjadi kabur. (Parel)